TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Anang Hermansyah tengah menjadi perbincangan di kalangan musisi. Draf Rancangan Undang-Undang Permusikan atau RUU Permusikan yang ia ajukan mendapat banyak sorotan dari dalam pelaku industri itu sendiri.
Baca: Tarik Ulur RUU Permusikan
Ditemui wartawan Tempo, Hussein Abri dan Egi Adyatama di kediamannya di kawasan Tangerang Selatan, pada Selasa, 5 Februari 2019, Anang mengatakan tak akan berhenti memperjuangkan RUU ini. Bagi dia, regulasi yang mengatur tata kelola musik tanah air ini dapat menjadi jalan jayanya musik Indonesia.
Berikut petikan wawancara Tempo dengan Anang.
Kenapa Anda begitu ngotot membuat RUU Permusikan?
Awalnya gini, musik Indonesia itu ada dan manfaatnya banyak. Lihat di buku 100 tahun industri musik Indonesia, industri kita terus tumbuh. Tapi gak jelas royaltinya. Musik terus bertransformasi.
Industri berjalan, sedangkan penataan tak berjalan. Apakah ada masalah? Pasti ada. Masalahnya beda-beda tergantung musiknya mungkin. Musik kontemporer dengan musik tradisional punya masalahnya sendiri-sendiri.
Baca: RUU Permusikan Tuai Polemik, Pembahasannya Sampai di Mana?
Dalam perjalanan itu, pelaku dan hasil harus ditata. Ternyata bermanfaat kalau kita lihat azas manfaatnya. Soalnya memberikan azas manfaat bagi pelaku. Dan negara juga, dalam bentuk pajak. Ini hal penting.
Kalau ini ditata, dapat memberi efek tinggi. Keberadaannya harus ditata. Bagaimana pengembangannya? Bagaimana literasinya? Bank datanya? Bagaimana menjaga culture ini? Bagaimana diteruskan? Dari pertanyaan itu, landasan yuridisnya jadi bunyi.
Banyak yang menilai poin utama di RUU ini sebenarnya sudah tercangkup di UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Kenapa tak merevisi UU itu saja?
Memang awalnya di Komisi X dulu. Peristiwa di Komisi X itu teman-teman musisi datang mengkritisi UU nomor 28 itu. Industri musik punya masalah. Teman-teman yang datang hanya mengharapkan dari UU 28. Kan itu hanya sedikit, tapi dari UU itu tak sedikit, hampir 40-50 persennya soal musik.
Penyanyi Glenn Fredly bersama musisi Anang Hermansyah yang juga anggota DPR RI Komisi X saat diskusi kisruh Rancangan Undang Undang (RUU) Permusikan bersama kalangan musisi di Cilandak Town Square, Jakarta 04 Februari 2019. TEMPO/Nurdiansah
Anak-anak berharap di situ. Tapi untuk menjadi landasan yuridis, mungkin gak? Kalau bicara UU 28 disruption musik dunia, yang sekarang lagu itu ada 26 copyright. Apakah UU 28 yang notabene hanya soal hak cipta saja seluruh karya di negeri ini bisa seluruh profesi?
Itu awal kami diskusi. Akhirnya kami berpikir gak kuat UU 28 ini untuk menggiring industri musik Indonesia yang begitu cepat juga pertumbuhannya meski didera berbagai masalah.
Draf naskah akademik dipertanyakan karena menggunakan sumber dari blog siswa SMK. Bagaimana penyusunan draf akademik ini? Setelah dibahas oleh baleg, dibikin tim atas perintah mereka atas dasar data yang ada. Ada masukan dari konferensi musik Indonesia pertama di Ambon. Mereka kan mengeluarkan 12 poin, diserahkan ke parlemen. Diserahkan pada presiden juga, hasil konferensi musik pertama Indonesia. Aku ada di dalam situ, ikut konferensi.
Itu data. Itulah aspirasi. Ini data aktual. Ada data tulisan, yang nanti mengerucut menjadi naskah akademik. Yang nanti melengkapi landasan UU sosiologis, yuridis, filosofis. Di situlah berjalan lagi tim mencari masukan. Ada di naskah akademik.
Meski mereka juga baca dari mana-mana untuk buatnya. Mengkopi dari mana-mana saja dipakai. Termasuk yang dari blog itu. Itu pun masukan. Pengkajian itu kan ada. Idenya bagus juga (blog ini). Kita coba masukan, nanti kan dibahas lagi. Ini kan baru draf naskah. Paling kasar. Ini kan draf. Masa ada draf RUU gak ada draf naskahnya.
Salah satu pasal yang bermasalah adalah terkait sertifikasi bagi pemusik. Kenapa pasal ini dimunculkan?